Kamis, 13 September 2012

Parama Sastra Jawa - ᭵


(01) - A. Tembung Lingga lan Andahan
aTêmbung Linggå
Inggíh punika têmbung íngkang dèrèng éwah sakíng aslinipún:
tulis, turu, tuku.
Têmbung Andahan
(02) - B. Bab Rimbag (Kedadosanipun Tembung)
RRimbag jinisipûn kathah sangêt.
1. Rimbag Tanduk:
punika t
êmbúng ingkang angsal atêr atêr anuswara (suwara irung): m, ng, n, ny.
(03) - C. Ater ater, panambang, seselan lan tegesipun.
WWisésana inggih punika tembung tembung ingkang angsal panambang "an".
01. Entan éntan kados : gunungan, pasaran, kalèn.02. Pirantos kanggé : kukusan, garisan, ayakan.
(04) - Bab II - Ukara Lan Pangudhalipun.
IIngkang dipun wastani ukara inggih punika rerangkèning tembung sawatawis ingkang saged mujudaken / nglahiraken gagasanipun tiyang.A. Péranganipun ukara:
(05) - B. Warni warnining Ukara
MI. Miturut Pandapukipun, Ukara, wonten:1. Ukara genep (ukara lamba).2. Ukara boten genep (ukara gothang).3. Ukara rangkep (ukara majemuk).
(06) - II. Ukara Miturut Suraosipun
MMiturut suraosipun ukara kapérang:
a. ukara carios (carita)
b. ukara pitakèn
c. ukara pakèn (pakon)
(07) - Bab III - Panyilahing Tembung (Jinising Tembung)
JA. Jinising tembung kalarasaken kaliyan basa manca.
1. Tembung Kriya (Verb);
sadaya tembung ingkang nerangaken tumindak padamelan:
nulis, mucal, nyawang, lan sapanunggilanipun.
(08) - Bab IV - Panyeratipun Basa Jawi Mawi Aksara Latin
PA. Panganggènipun Aksara Ageng:
1. Kanggé nyerat irah - irahan (bab).
2. Aksara ing wiwitaning ukara.
3. Kanggé nyerat nama mandiri.
(09) - Bab V - Unggah Ungguhing Basa
KA. Katrangan:
Basa Jawi punika pepak sanget, ngantos tiyang manca manawi badhé nyinau basa Jawi asring rumaos kewalahan, amargi saking kathahing sinonim tembung Jawi, caranipun

UNGGAH UNGGUHING BASA JAWA dan IMPLIKASINYA TERHADAP MASYARAKAT

A. Pendahuluan Sebagai masyarakat, orang Jawa mempunyai unggah-ungguh yang diwarisi dari zaman ke zaman. Dalam suatu pertemuan, orang berusaha menempatkan pejabat di tempat paling depan, sedangkan orang biasa atau yang tidak dikenal di tempat yang agak belakang. Hal ini wajar, sebagaimana telah dibiasakan oleh nenek moyang. Cara semacam itu termasuk unggah-ungguh berbahasa yang merupakan bagian kehidupan sehari-hari. Dengan adanya unggah-ungguh berbahasa yang berupa pola-pola perilaku yang menyatu dalam kehidupan, yang sekaligus mengatur pergaulan, maka masyarakat mempunyai pedoman yang mantap mengenai perilaku yang dianjurkan dan yang diwajibkan. Dalam hal ini seseorang dapat merasa mempunyai kepastian mengenai sikap yang harus diambil. Jelas bahwa unggah-ungguh berbahasa mempunyai kekuatan sosial didasarkan atas suatu wawasan yang cukup mendalam tentang kehidupan dalam bermasyarakat. Tanpa memahami adanya wawasan ini, unggah-ungguh berbahasa menjadi pedoman perilaku yang kehilangan maknanya. Dalam wawasan ini orang percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini berada dalam satu tatanan tertentu hingga segala-galanya berjalan dengan tertib dan fungsional. Itulah yang disebut harmonis, demikian pula ungah-ungguh berpola perilaku dalam kehidupan di masyarakat. Dalam keadaan normal (yang tidak niemperlihatkan adanya perubahan sosial) proses pewarisan generasi tidak menimbulkan kesulitan apa-apa karena kondisi yang diperlukan untuk pewarisan itu selalu menunjang; dan setiap warga masyarakat dari golongan muda menerimanya sebagai suatu keharusan yang wajar. Namun, dengan adanya perubahan sosial, seperti yang terjadi di negara kita sekarang im, proses pewarisan yang sekaligus merupakan pelestarian itu segera menghadapi masalah. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul, antara lain adalah apakah dalam pembinaan kebudayaan nasional sekarang ini unggah-ungguh berbahasa itu masih perlu? Kalau masih dan perlu, mesti diseleksi apa kriterianya? Bila kriteria itu belum ada, bagaimana dan atas dasar apa kriteria itu dibuat? Berikut ini saya sajikan gagasan mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas dengan pendekatan dari sudut sosiiolinguistik terhadap bahasa sebagai gejala masyarakat dengan mengingat bahwa pertama, bahasa merupakan cermin kebudayaan dan kedua nilai budaya Indonesia terus dibina dan dikembangkan guna memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional serta memperkokoh jiwa kesatuan nasional. B. Asumsi Dasar i Unggah-ungguh bahasa Jawa merupakan salah satu bagian bahasa Jawa yang mencermin-kan konsep kebudayaan Jawa. Jika dibandingkan dengan bahasa di daerah lain, unggah-ungguh dalam bahasa Jawa merupakan yang paling rumit. Hal ini membuktikan bahwa betapa rumitnya kebudayaan Jawa. Oleh karena itu, memahanii peranan dan mengelola kedudukan unggah-ungguh dalam bahasa Jawa tidak mungkin dapat mantap tanpa melihatnya dari sudut kebudayaan Jawa itu sendiri sebab dcngan cara memandang semacam kita memandang unggah-ungguh dalam bahasa Jawa bukan sekedar peristiwa bahasa belaka melainkan lebih sebagai peristiwa kemasyarakatan Tentu saja pandangan semacam itu mengandung keuntungan dan kerugiannya sendiri. Kerugian yang segera tampak ialah bahwa kita memandang unggah-ungguh tidak sebagai sesuatu yang terpisah, yang berdiri sendiri, sehingga kedudukan unggah-ungguh sebagai kesatuan kurang kita beri tempat sebagaimana mestinya; dan sikap ini tentu saja tidak begitu diterima oleh para ahli bahasa yang sangat akrab dsngan masalah unggah-ungguh. Namun, agar peranan unggah-ungguh dalam tata masyarakat Indonesia dapat diatur kembali, tentulah sikap tertutup harus ditinggalkan. Keuntungan cara memandang unggah-ungguh dari sudut sosiolinguistik ialah bahwa kita dapat memahami kedudukan yang sebenarnya, Iebih-lebih dalam tata masyarakat Jawa yang sudah mengalami perubahan, yang menyebabkan banyak hal dalam unggah-ungguh’ yang mengalami perubahan pula. Hanya pertimbangan yang bijaksana dan tepat sangat diperlukan agar dapat melestarikan esensinya, bukan hanya melestarikan melainkan tidak kena. Asumsi lain yang diperlukan ialah bahwa untuk membahas masalah unggah-ungguh dalam bahasa Jawa dan implikasinya pada masyarakat kita tidak dapat meninggalkan realilas sosial karena suku Jawa mcnjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Lebih-lebih sejak kemerdekaan 1945, yang secara ekspiisit semua suku di tanah air bertekad untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia. Asumsi adanya hubungan historis yang erat antara suku Jawa dan kebangsaan Indonesia ini termasuk pula adanya kenyataan perubahan sosial yang bersamaan terjadinya, yaitu lunturnya suasana feodalisme yang melanda masyarakat suku Jawa. Bahkan, di daerah Surakarta pernah terjadi semacam revolusi sosial tempat kaum komunis merebut kekuasaan pemerintah daerah. Bekas-bekas kekuatan kerakyatan semacam itu masih terasa pengaruhnya pada sikap kemasyarakatan di daerah itu. Namun, betapa pun kuatnya pengaruh aspirasi kebangsaan sebagai unsur pembaruan, kita masih percaya bahwa perubahan itu tidak menyentuh bagian esensial kebudayaan Jiwa itu sendiri sebab bagaimana pun proses perubahan kebudayaan yang sedang berlangsung akan diteniukan oleh kemampuan-kemampuan dalam sistem budaya itu sendiri sebagai respon dan penyesuaian diri yang mandiri diteorikan oleh Pitirin A Sorokin (“The Prin of Immanent Change,” dalam Selo Sumard Setangkai Bunga Sosiologi, Lemb. Pen. Fa Ekonomi UI, Jakarta 1964: 515–536). Selanjutnya, sebagai asumsi terakhir peerlu dikemukakan bahwa berlakunya bahasa Indonesia untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia mempercepat proses erosi baru daerah, khususnya unggah-ungguh dalam bahasa Jawa. Paling tidak kebiasaan berbicara tanpa unggah-ungguh seperti dalam bahasa Indonesia membawa pengaruh terhadap kebiasaan ber-unggah-ungguh dalam bahasa Jawa, terutama pada generasi mudanya. Dengan adanya kenyataan ini, salah satu sikap masyarakat Jawa sebagaimana termanifestasikan dalam unggah-unguh dihadapkan pada pertanyaan apakah masih harus dilestarikan atau tidak. Dalam hal ini para pengelola bahasa Jawa perlu menentukan mana yang esensial dilestarikan. Lebih-lebih mengingat bahwa proses ke arah terbentuknya kebudayaan nasional merupakan suatu conditio sine qua non bagi berlangsungnya kemasyarakatan Jawa. C. Hipotesis Untuk memberikan pengarahan dalam tulisan ini ada beberapa hipotesis yang seyogyanya mendapat perhatian. Berkenaan dengan adanya erosi kebudaya khususnya dalam hal unggah-ungguh, maka erosi itu akan tetap berlangsung sampai temukan esensi unggah-ungguh itu sendiri. Karena tidak menghayati esensi budaya unggah-ungguh itu, generasi muda cenderung untuk tidak menghiraukannya, bahkan merasakannya sebagai beban pergaulan formal. Mempertahankan unggah-ungguh tanpa menghayati esensi budaya yang melatarbelakanginya akan menimbulkan sikap sinis dan reaksioner dari kalangan generasi muda sebab aspirasi kemerdekaan dengan kesederajatan tingkat lebih menarik daripada pengabdian yang menjadi salah satu indikator esensi budaya di balik unggah-unggiuh. Dalam proses erosi kebudayaan sistem kemasyarakatan itu sendiri akan menemukan penyesuaiannya tanpa kehilangan bagian yang esensial meskipun proses itu dapat berlangsung menurut bandul jam, yang pada satu saat seakan-akan erosi itu akan menghanyutkan segala-galanya, tetapi ternyata sebentar lagi akan berbalik secara kuat. Hal demikian biasanya terjadi karena sesungguhnya erosi hanya berlangsung pada segolongan masyarakat tertentu dan sementara itu ada golongan-golongan yang masih mempertahankan sungguh-sungguh bersama dengan esensi yang melatarbelakanginya. Dalam tata masyarakat Indonesia esensi budaya yang menjiwai unggah-ungguh dalam bahasa Jawa tetap akan bertahan meskipun harus mengalami bermacam-macam transformasi ke dalam bahasa Indonesia ataupun ke dalam bahasa Jawa itu sendiri. Masyarakat Jawa sendiri akan mengalami kegelisahan eksistensial bila harus meninggalkan esensi budaya yang menjiwai unggah-ungguh dalam bahasanya sebab dalam bahasa Jawa unggah-ungguh bukan sekedar gejala bahasa yang bernilai komunikatif melainkan sekaligus merupakan manifestasi dan sikap budaya suku Jawa,. yang respon seseorang terhadap orang-orang di sekelilingnya tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan wawasan dunia, yang (wel-tanschaung) memperlihatkan bahwa mikro-kosmos dan makrokosmos merupakan kesatu-an yang harmonis dalam tatanan tertentu. D. Analisis Dalam menganalisis topik ini dapat ditempuh melalui faktor-faktor yang turut menentukan adanya gejala unggah-ungguh dalam bahasa Jawa. Di antara faktor-faktor itu kiranya dapat diemukakan faktor linguistik, faktor keadaan sosiial, faktor sejarah, faktor pendidikan, faktor nasionalisme, dan faktor kebudayaan. 1. Jika dilihat dari sudut kebahasaan, unggah-ungguh merupakan kata-kata atau ungkapan khusus dalam bahasa Jawa yang mencermin-kan sikap budaya orang Jawa, terutama dalam hubungannya dengan orang lain. Tentu dapat dipersoalkan apakah dalam zaman Majapahit unggah-ungguli semacam itu sudah turnbuh. Rupanya sumber unggah-ungguh sama dengan sumber bahasa krama itu sendiri, dan timbulnya bahasa krama diduga pada zaman sesudah Majapahit. Namun, itu tidak berarti bahwa jiwa ynng mendorong timbulnya unggah-ungguh harus juga timbul sesudah timbulnya bahasa krama. Dari kenyataan itu ada satu hal yang dapat dikemukakan bahwa unggah-ungguh sebagaimana bahasa krama itu sendiri merupakan hasil proses yang cukup panjang dan rumit, yang secara historis tidak sejalan meskipun secara fenomenologii timbul dari sumber yang sama. Ini berarti bahwa unggah-ungguh itu sendiri sebagai sesuatu yang tumbuh tidaklah lepas dari faktor perubahan. Jadi ia dapat tumbuh tetapi juga dapat berubah atau mungkinn bahkan hilang sama sekali, mengalami pergeseran. 2. Jika dilihat dari sudut keadaan masyarakatnya, unggah-ungguh sebagai cermin kehidupan masyarakat Jawa menampilkan suatu profil bahasa yang sangat menarik. Dalam hal ini bahasa bukanlah sekedar wahana komunikasi yang efisiensi dan kepraktisannya dapat menjadi dasar yang paling utama melainkan bahasa sekaligus menjadi manifestasi status sosial para pembicara dan pendengarnya. Dengan demikian, bahasa Jawa bukan sekedar alat komunikasi melainkan sekaligus merrpakan alat penunjuk stratifikasi sosial yang harus di-patuhi oleh para warganya. Dalam taliun-tahun 30-an ketika kehidupan orang Jawa stabil, gambaran stratifikasi sosial itu stabil pula, yakni gambaran suatu masyarakat priyayi yang piramidal dengan raja sebagai puncaknya. Dengan masuknya Jepang pada tahun 1942 gambaran semacam itu mulai berubah berkat datangnya “saudara tua” dari matahari terbit. Selanjutnya, gambaran stratifikasi sosial itu lebih digoncangkan lagi peristiwa sejarah yang sangat menentukan, yakni revolusi kemerdekaan 1945. Yang teiakhir ini mem-bawa semangat kesederajatan yang segera mendapat tempat yang sangat meluas, dan dengan sendirinya membawa pengaruh terhadap kcbiasaan menggunakan unggah ungguh dalam bahasa Jawa. Khususnya, di daerah Surakarta revolusi kemerdekaan itu masih disusul dengan semacam revolusi sosial, tempat alam kerakyatan yang komunistis mendapat akar yang cukup mendalam (Peringatan Hari Jadi ke 27 Pemda Kodya Ska., 1973:24-27). Dengan sendirinya gambaran bahwa masyarakat terdiri dari suatu struktur yang piramidal dan berpuncak pada raja mendapat hal yang kurang mendapat tempat. Perubahan keadaan masyarakat ini mempercepat timbulnya erosi kebudayaan, khususnya dalam hal unggah-ungguh berbahasa. 3. Pendidikan formal di sekolah dapatlah dipandang sebagai faktor yang mempercepat prcses erosi unggah-ungguh itu pula. Selintas kedengaran aneh bahwa pendidikan mempercepatnya. Akan tetapi, bila kita amati apa yang diberikan dalam pendidikan itu, barulah kita mengakui kenyataan bahwa pendidikan ternyata turut mempercepat erosi sebab apa yang diberikan dalam sistem pendidikan kita lebih cenderang kepada ilmu yang objektif sebagai-mana yang dianjurkan oleh moral bagi ilmu pada kebudayaan Barat. Hasilnya tentu saja cara berpikir yang objektif impersonal pada para alumni pendidikan itu. Dengan sendirinya mereka ini didorong satu langkah lagi untuk melupakan penggunaan unggah-ungguh berbahasa yang sifatnya personal; dan kiranya ini pulalah yang menjadi salah satu penyebab mengapa bahasa Jawa kurang lincah untuk membicarakan ilmu jika dibanding dengan bahasa Indonesia. 4. Faklor pendidikan erat sekali dengan faktor kebudayaan. Di atas telah dikemukakan bahwa bagaimana pendidikan Barat telah mempercepat timbulnya erosi kebudayaan; dengan demikian dalam kebudayaan sebagai sistem terdapat unsur-unsur yang merangsang perubahan. Bila kita ingat bahwa esensi kebudayaan ditentukan oleh respon seseorang atau masyarakat terhadap problem-problem dasar kehidupan, yakni terhadap kelahiran, kematian, cinta, kesetiakawanan, pengabdian, tujuan dan makna hidup serta kedudukan hal-hal yang transendental dalam diri manusia (Sujatmoko, dalam Mochtar Lubis (Editor): 70 th St. Takdir Alisyahbana, Tim. 1974:223), maka dalam menghadapi kondisi yang selalu berubah-ubah dari zaman ke zaman, dari zaman penjajahan Belanda, kemudian zaman kemerdekaan, dari zaman kemerdekaan ke era orde lama, orde baru dan pada akhirnya orde reformasi sekarang ini, esensi kebudayaan itu akan tetap menentukan manifestasinya yang baru sehingga masyarakat yang bersangkutan dapat lestari dan tenang dalam menghadapi kondisi yang berubah-ubah itu. Dengan demikian, meski pun mengalami perubahan-perubahan benluk kebudayaan ilu tetap mempunyai identitasnya Dalam hal unggah-ungguh ini kita pun dihadapkan pada dua hal yakni mana yang bentuk belaka dan mana yang merupakan esensinya. Jelas bahwa bentuk-bentuk kata krama merupakan bentuk suatu sikap budaya, sedangkan sikap menghargai kepada orang yang lebih tua, yang berpangkat, dan sebagainya merupakan esensinya. Oleh karena itu, sika menghormati kepada yang lebih tua dapat menentukan tempatnya ke dalam bahasa lndonesia, tanpa membawa bentuk bahasa krama itu. Dalam pengertian ini kita dapat memhami satu kenyataan sosial kultural yai barangkali akan membuka horizon bagi kondisi Indonesia pada umumnya bahwa identik masyarakat Jawa tetap akan tampil kembali secara utuh meski dalam bentuk yang telah disesuaikan. Bila asumsi ini benar, hal ini berlaku pula bagi semua masyarakat etnis yang lain di Indonesia. Hal ini mudah diverifikasikan. Ini berarti semua masyarakat etnis akan bertemu satu sama lain dalam negara kebangsaan kita. Dalam kondisi yang demikian masing-masing harus menentukan sikap kulturalnya; apakah menolak dengan gaya chauvinistik, apak menghindari dengan gaya eskapis, apakah r nyerah dan terlena dengan gaya nostalgi, ataukah menguasainya dalam sikap dominasi; ataukah bersikap bebas aktif dalam sikap ke sama yang penuh toleransi. Dalam masalah unggah-ungguh pun tidak luput dari cakrawala budaya semacam itu hingga kalau unggah-ungguh pada dasar merupakan bentuk, kemungkinan erosi ; rupakan hal yang sangat wajar. Namun esensinya akan tetap dan bahkan akan menentukan bentuk yang baru dan cocok untuk kondisi temu budaya yang sedang berlangsung. 5. Akhirnya, faktor politik nasionalisme merupakan penentu pula. Di negara yang masih sangt muda ini temu budaya yang telah dibahas atas tidak dibiarkan tanpa arah. Kebudayaan-kebudayaan itu saling bertemu untuk menuju satu tujuan tertentu, yakni kebudayaan nasional. Dengan wawasan ini temu budaya merupakan syarat mutlak untuk tercapai cita-cita satu bangsa, satu tanah air. demikian, sikap chauvinistik, nostalgi, pun eskapis tidaklah sejalan dengan cita-cita itu. Memang harus diakui bahwa sikap yang tidak menunjang itu masih bermunculan di sana-sini meskipun sesungguhnya hal itu hanyalah suatu proses dalam rangka mencari sikap dan cara yang tepat sebab bahwa kita semua menjadi satu bangsa sudah merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipulangkan pada keadaan sebelumnya. Namun, dalarn masalah unggah-ungguh ini tidaklah berarti kita harus membuangkannya. Sebagai manifestasi jiwa budaya yang menciptakan tatanan sosial, hal itu jelas amat penting; dan itu telah dibuktikan dalam sejarah. Oleh karena itu, proses transformasi haruslah berjalan dengan hati-hati jangan sampai esensinya pun turut larut. Dengan demikian, berarti bahwa paling tidak bagi masyarakat Jawa unggah-ungguh itu masih tetap perlu dilestarikan sampai ditemukan bentuk-bentuknya yang baru dalam tata masyarakat nasional Indonesia. Titik penentu adalah bahwa apakah orang Jawa harus menghancurkan identitas kulturnya dalam rangka masuk ke dalam kerangka nasionalisme ataukah orang Jawa menemukan kesempurnaan identitas kulturalnya dalam kerangka nasionalisme itu. Dalam hal ini secara psikologis pendapat kedua yang menunjukkan sikap terbuka; dan keterbukaan itu mutlak diperlukan dalam rangka pembinaan kebudayaan nasional. Dari semua yang telah dibahas di atas kita lapat menggambarkan bagaimana sesungguhnya ;edudukan unggah-ungguh dalam masyarakat awa dan bagaimana unggah-ungguh itu turut nembentuk identitas masyarakat Jawa. Unggah-ungguh ini tidak sekedar menjadi way of life orang Jawa karena di dalamnya terkandung satu vawasan dunia atau Weltanschaung dengan mikrokosmos dan makrokosmos merupakan keserasian dan satu tatanan tertentu. Namun, dalam nenghadapi perubahan zaman unggah-ungguh iengan latar belakang semacam menghadapi tantangan. Generasi muda tidak memperhatikan lagi, sedangkan generasi tua menyayangkannya; dan hanya kadang-kadang menghadapi kesulitan menanamkannya karena pendidikan formal di sekolah kerapkali belum menciptakan kondisi yang diperlukan. Memang harus diakui bahwa untuk menanamkan jiwa unggah-ungguh tidak begitu mudah pada zaman sekarang karena anak muda lebih nengandalkan berpikir logis daripada pengabdian; dan lagi unggah-ungguh itu lebih banyak dipertahankan di kalangan kaum priyayi jika dibandingkan dengan di kalangan rakyat jelata atau pun orang desa. Dalam suasana demokratis seperti sekarang ini kedudukan kaum bangsawan tentu saja agak berubah. Namun, untuk menanamkan kembali unggah-ungguh tanpa memperhatikan esensinya, hanya akan membawa anak-anak kepada mannerisme, yakni berperilaku dalam pola tertentu tanpa menghayati jiwa yang melatarbelakanginya. Untuk menanamkannya tentu saja peranan keluarga sangat besar, terutama dalam menciptakan kondisi sedemikian rupa hingga anak-anak sejak kecil telah dibawa ke dalam pola perilaku unggah-ungguh lengkap dengan jiwanya. Dengan demikian, suasana tertib dalam keluarga bukan sekadar tertib yang mengejar efisiensi kerja belaka melainkan tertib yang dilandasi dengan suatu wawasan tentang kehidupan tertentu yang tertib masyarakatnya dilandasi oleh tertib makrokosmos. Dalam tertib terpadu semacam bukan saja yang bawah yang wajib “mengabdi” kepada yang atas, tetapi yang atas pun mempunyai kewajiban moral melindungi dan memperkembangkan yang kecil dan yang di bawahnya. Semakir kewajiban moral dari yang lebih tua dan di atas itu (yang termasuk noblesse oblige) lebih intens, maka yang kecil yang berada di bawah semakin tergugah untuk menghormati dan “mengabdi” kepada yang di atas. Dengan pengertian sosial fenomenologis ini, unggah-ungguh bukanlah suatu perilaku yang bersifat sepihak dari bawah ke atas melainkan bersifat interaksi; dan tertib yang mantap ini tidak sekedar dilandaskan pada hukum tetapi pada kesadaran moral bangsa. Jelas bahwa tertib yang mantap semacam itu perlu dibina pula dalam kehidupan bermasyarakat dalam negara Indonesia; dan dengan sendirinya ini merupakan sumbangan kebudayaan Jawa kepada pembinaan kebudayaan nasional, khusus-nya di bidang moral bangsa, sebagaimana dicita-citakan oleh warga masyarakat; dan moral semacam itu jelas sejalan dan menunjang moral Pancasila. Yang pasti ialah apabila suku Jawa diminta memnggalkan moral unggah-ungguhnya dalam rangka proses pembinaan bangsa, suku itu akan kehilangan identitas budayanya dengan mengingat bahwa moral adalah suatu kekuatan integratif yang sekaligus pendorong kehidupan suatu masy rakat. E. Simpulan Setelah dipaparkan bagaimana ungguh dalam bahasa Jawa dan imp!.- pada masyarakal dengan tinjauan dari segi kebu-dayaan, sebagai kesimpulan dapat ditarik hal-hal berikut. 1. Unggah-ungguh perlu dilestarikan. 2. Dalam pembinaan formal di sekolah anak didik perlu dibina dalam hal unggah-ungguh untuk menunjang pembinaan moral Pancasila. 3. Pendidikan unggah-ungguh di dalam keluarga perlu diintensifkan. 4. Perlu ditumbuhkan bentuk-bentuk unggah-ungguh baru dalam tata masyarakat Indonesia sebagai bangsa dengan mengingat nilai dan esensi kebudayaan unggah-ungguh itu akan mencari jalan untuk mentransformasikan diri ke dalam tata kehidupan masyarakat tingkat nasional. 5. Pendekatan yuridis impersonal perlu dilengkapi dengan pendekatan personal kultural. F. Saran Sebagai saran sehubungan dengan unggah-ungguh bahasa Jawa adalah sebagai berikut. Pengajaran bahasa Jawa perlu ditingkatkan bukan sekadar mulok.. Pelajaran kesusastraan Jawa perlu diintensifkan, terutama yang langsung berisi weltan-schaung kebudayaan Jawa yang menjiwai ada-nya bentuk unggah-ungguh itu. Kesadaran moral berbangsa perlu ditingkatkan.

UNDHA-USUKING BASA JAWA

Undha - usuking Basa Jawa kaperang udakara dadi limang (5) basa, yaiku: 1. Basa Kasar 2. Basa Ngoko : a. Ngoko Lugu b. Ngoko Andhap 3. Basa Madya : a. Madya Ngoko b. Madyantara c. Madya Krama 4. Basa Krama : a. Kramantara b. Mudha Krama c. Wredha Krama d. Krama Inggil e. Krama Desa BASA KRAMA DESA Basa Krama Desa yaiku basa krama sing digunaake dening para pawongan ing desa, tujuane pengin ngurmati sing diajak guneman. Dene wujude ana tembung krama kang dikramaake maneh, ana uga kang nganggo tembung krama inggil utawa malah nganggo basa kawi. tuladha : 1. Ibu boten teng griya sek kesah dateng Bajul Kesupen. 2. Ing wanci ketigen mekaten, pesiten sami rowa. BASA KEDHATON (basa Bagongan) Basa Kedhaton yaiku basa kang kanggone mung ana kedhaton. Kaanggo tumrap para sentana lan abdining ratu ing wektu seba ing ngarsaning ratu. tuladha : 1. Punapi sira darbe kawasisan ingkang linuwih ? 2. Jengandika punapi sampun mengertos pawartos puniki ? tuldha tembunge basa kedhaton liyane : nedha = mangan puniku = iku wonten = ana punapi = apa dhawak = dhewe jengandika = kowe siyos = sida darbe = duwe puniki = niki BASA KRAMA INGGIL Basa Krama inggil yaiku basa kang tujuane kanggo ngajeni banget marang sing dijak guneman, meh padha karo Basa Mudha Krama. Dene wujude ana owah-owahaning penyebut kayata : - /-mu/ dadi /kagungan dalem/ - /aku/ dadi /abdi dalem kawula/, /abdi dalem/, /adalem/, /dalem/, /kawula/ - /kowe/ dadi /panjenengan dalem/ utawa /sampeyan dalem/ menawa marang Ratu tuladha : 1. Kagungan dalem menapa sampun dipun paringaken ? 2. Manapa arta menika saget dalem ampil langkung rumiyin ? 3. Kula wastani panjenegan dalem sampun tindak kantor. 4. Lan sak panunggalanipun. BASA KRAMA Basa Krama yaiku basa kang utamane dianggo kanggo ngajeni marang sing diajak guneman. Dene wujude bisa kaperang dadi 3, yaiku : 1. Basa Kramantara Basa Kramantara yaiku basa kang wujude basa krama kang lugu. Dene kanggone tumrap sapadha-padha, utawa priyayi sing luwih dhuwur lan menang drajate karo sing diajak guneman. tuladha : 1. Mangga ta sami dipun penggalih langkung rumiyin. 2. Para Tamu sampun sami kondur sedaya. 3. Ibu nembe tindak pasar wekdal menika. 4. Lan sak piturutipun. 2. Basa Mudha Krama Basa Mudha Krama yaiku basa kang wujude ngajeni sing diajak guneman biasane tumrap wong enom marang wong kang luwih tuwa, batur nyang bendarane sing dudu darah luhur, pegawe menyang pimpinane. tuladha : 1. Bapak dereng rawuh 2. Nuwun sewu, estunipun panjenengan badhe ngersaaken menapa ? 3. Basa Wredha Krama Basa Wredha Krama yaiku wujude basa kang ngajeni antarane wong tuwa marang wong kang kapernah enom, lan bisa uga wong tuwa marang sepadha-padhane. tuladha : 1. Sampeyan apa wis dhahar ta nak. 2. Mangga katuran pinarak wong ketingale sampun sayah. BASA MADYA Basa Madya yaiku basa kang kaanggo ing antarane Basa Ngoko lan Basa Krama, dene wujude tembung Madya kang kaworan Ngoko lan Krama. Dene wujude bisa kaperang dadi 3, yaiku : 1. Madya Ngoko Wujude Basa Madya Ngoko yaiku: - Tembung Madya yaiku tembung kang duweni ater-ater lan panambang ngoko - Tembung Ngoko - Nyebut "dika" kanggo "kowe", "Samang" kanggo " sampeyan", lsp. Dene lumrahe kanggo dening : - Bakul padha bakul - Priyayi marang andhahane atawa ngisorane tuladha : 1. Dika pun nedha dereng 2. radio niku samang napake ? 2. Madyantara Wujude Basa Madyantara yaiku : - Tembung madya kang ater-ater lan panambang ngoko - Tembung Ngoko - Katenger saka tembung "keng slira" kanggo "sampeyan", Dene lumrahe kaanggo dening : - Para priyayi sing wis kulina - Bojone priyayi marang bojone - Priyayi marang sedulure kang kapernah tuwa nanging luwih cendhek pangkat/drajate. tuladha : 1. Sampeyan ya sida tilik mrana ? 2. Sampeyan iki wis diaturi bola-bali ora mirengake. 3. Madya Krama Wujude Basa Madya Krama yaiku : - Tembung Madya kang ater-ater lan panambang ngoko. - Nganggo tembung Krama lan Krama Inggil. - Nganggo sebutan "sampeyan" kanggo ngarani "kowe" Dene sing nganggo Basa Madya Krama iki biasane : - Padha dene priyayine lan wis padha kulinane - Bojon priyayi sing durung ngoko tuladha : 1. Sampeyan apa wis dhahar ta mas ? 2. Mugi Pangeran tansah memayungi tindak sampeyan. 3. Tak kira ya wis sare lho, tiwas aku ra mampir. BASA NGOKO Basa Ngoko yaiku basa kang dipigunakake tanpa kecampuran utawa bebarengan karo basa krama, dene wujude ana rong perangan : 1. Ngoko Lugu Basa Ngoko Lugu yaiku basa kang dipigunakake tanpa kacampuran Tembung Krama babar pisan. Basa iki biasane digunakake : 1. Marang sapadha-padha kang wis akrab lan sak barakan umure 2. Marang wong kang kapernah enom 3. Biasane digunakake dening bocah kang durung gaduk pamikirane. tuladha : 1. Aku mau pas lunga ketemu bapakmu. 2. Kowe wingi neng ngendi tak goleki kok ora ana. 3. Bu aku jaluk jajan meneh. 4. Lan sak panunggalane. 2. Ngoko Andhap Basa Ngoko andhap yaiku basa ngoko kang kacampuran basa alus kang tujuane kanggo ngajeni sing diajak guneman. Basa iki biasane dipigunakake : 1. Marang sak padha-padha ning kurang akrab 2. Marang wong enom ning luwih dhuwur drajate 3. Priyayi marang priyayi sing wis akrab 4. Bojone priyayi marang sing lanang. tuladha : 1. Mbok aku yen sempat melu dipundhutke ta 2. Penjenengan ya wis ngerti berita mau ? 3. Aku tak melu ya Pak, yen arep tindak mrana. 4. Lan sak panunggalane BASA KASAR Katelah Basa Kasar marga basa iki dipigunakake mligi dening wong kang lagi nesu, srengen, wong kang nembe padu, lan sak panunggalane. tuladha : 1. Bocah kok yen ditakoni cangkeme ora tau njeplak. 2. Kira-kira ki yen ra jegos, ya ra sah ditandhangi. 3. Wong yen uteke neng dhengkul, ........... 4. Lan sak piturute.

Wara-wara

Wara-wara ing Bahasa Indonesia artine “Pengumuman”, Wara-wara diwaca woro-woro. Wara-wara iku pocapan utawa tulisan sing isi pepènget utawa awèh weruh arupa pangumuman marang wong akèh. Wara-wara biasané dikarepaké kanggo mènèhi weruh bab kahanan sing wigati, nanging uga bisa kanggo iklan utawa golèk tenaga kanggo nyambut gawé. Jenise wara-wara ana loro yaiku: 1. Wara-wara Resmi Ciri-cirine wara-wara resmi: a. Nganggo kepala surat kadinasan b. Ana nomer wara-wara c. Basa sing digunakake basa sing ringkes, jelas lan resmi d. Ana tanda asta utawa stempel saka sing gawe wara-wara 2. Wara-wara ora Resmi Ciri-cirine wara-wara ora resmi: a. Ora nganggo kepala surat kadinasan b. Ora ana nomer wara-warane c. Basa ora resmi utawa basa sedina-dinane Bab-bab sing kudu dingerteni sadurunge gawe wara-wara: 1. Nemtokake topik sing digawe 2. Nemtikake tujuan 3. Nemtokake isi utawa pokok-pokok 4. Kanggo sapa wara-wara iku 5. Ngangge basa sing cocok dening wong-wong sing maca wara-wara Bab-bab sing kudu digatekake sajroning wara-wara yaiku: 1. Pocapan kudu bener lan trep 2. Lagune kudu digatekake 3. Sikap kudu apik 4. Nguasai isine wara-wara iku 5. Pandangane ing anggone teks maca lan wong-wong sing ngrungokake. Perangane Wara-Wara 1. Judul/Irah-irahan 2. Adangiyah/salam taklim 3. Bebuka/Pambuka 4. Surasa Basa/ Isi 5. Wasana Basa/ Panutup 6. Panggenan lan titi mangsa 7. Peprenah/jabatan 8. Tapak Asta 9. Asma Terang *** WARA-WARA assalamu'alikum wr.wb Siswa kelas X, XI, lan XII kang tansah daktresnani, Sesambetan kaliyan pengetan dinten Pindhidhikan NAsional, pramila para siswa kelas X, XI, lan XII supados nyiagaken kelasipun piyambak-piyambak kangge lomba karesikan tuwin kaendahaning kelas. Awit saking punika, benjing dinten : selasa, surya : 11 oktober 2011 para siswa supados mbekta pirantos kangge gotong-royong damel asri kelasipun piyambak-piyambak. Mekaten, wara-wara punika. Sageda dipun leksanakaken kanthi saestu. Boyolali,11 oktober 2011 Waka Humas, ttd Kasman dimejo

PAWARTA

Pawarta yaiku katrangan kang bisa menehi pangerten ngenani sawijining kahanan. Wujud pawarta : lesan lan tulisan -Lesan :bisa digiyarake lumantar radio, TV, utawa diwaca lugas. -Tulisan : lumrahe kapacak ana ing ariwarti, kalawarti, lsp. Pawarta kang kagiyarake maneka warna, mula saka iku pamigati pawarta becike nlesih kanthi patitis marang pawarta iku mau. Ora sethithik kabar kang luwih nengenake rumor utawa kabar kang durung karuwan benere. Uga akeh kabar kang isine milut kawigaten (promosi). Kosok baline ora sethithik uga pawarta wigati kang bias katemokake ing medhia massa. Dadi, pamigati kudu prigel milih lan milah pawarta kang diperlokake. Tuladha pawarta: Sugeng siyang pamirsa Kula Indra Birawa badhe maosaken pawarta dinten menika wonten ing Warta Kilat. Embung Unnes sakmenika sampun dados panggenan ingkang dipunengsemi tukang mancing saha mahasiswa Unnes. Embung ingkang wiyaripun setunggal lapangan bal-balan menika, menawi sonten kebak dening tiyang ingkang badhe mincing amargi sampun dipunuculaken kalih dasa ewu winih iwak mujaer dening pihak Unnes. Sahengga embung kathah dening iwak sakaliyan tiyang ingkang badhe mancing wonten mrika. Humas Unnes, Sucipto Hadi Purnomo ngendikan, babagan embung sakmenika pancen leres sampun dipundamel kagem panggenan rekreasi. Pandamelan embung sakmenika inggih salah setunggaling program Unnes konservasi ingkang sampun nelasaken ragat nematus wolung dasa pitu juta sewidak ewu rupiah. Miturut pembantu pelaksana proyek saking CV Duta Muda indah, Slamet Widodo, embung dipundhamel kangge madahi toya wonten unnes saenggo boten banjir rikala mangsa udan. Proyekipun wonten seket dinten ingkang sakmenika dipungarap gangsal welas tiyang dipunbiyantu eksavator, buldoser kaliyan vibro. Pawarta minangka prastawa kang diwartakake. Pawarta iku bisa arupa lesan apadene tulisan. Lesan ateges pawarta iku bisa diwartakake dening wong liya kanggo pamiyarsa lumantar swara. Tulisan pawarta iku lumrahe kapacak ana ariwarti, kalawarti. Perangan kang nemtokake bobot biji pawarta yaiku 1. Aktualitas 2. Sesambungan karo papan kedadean 3. Sesambungan karo unsur-unsur kang ketut ing sakjrone kedadean 4. Sesambungan karo pagaweyan pamaca/ pamiyarsa 5. Ganepe Pawarta. Saya akeh gunane pawarta kuwi tumrap pawongan, saya mundhak dhuwur biji pawarta kuwi tumrap dheweke. Para siswa kang kulina ngrungokake pawarta basa jawa mesthine bisa tambah wawasan lan pangertene marang ukara basa jawa. Kang perlu digatekake nalika ngrungokake pawarta utawa informasi yaiku: a. mangerteni kanthi cetha masalah kang disampekake b. mbedakake informasi kang penting lan ora penting c. nyathet informasi sing bener lan premathi Sak bubare para siswa ngrungokake pawarta diajab para siswa bisa gawe simpulan saka pawarta kang disemak. kesimpulan yaiku rumusan cerkak saka loro utawa luwih pernyataan kang handuweni hubungan. Nyimpulake pawarta berarti nanggepi pernyataan-pernyataan ana ing pawarta. Nalika menehi tanggepan sampeyan bisa ngutarake setuju utawa ora setuju marang pawarta kang nembe dirungokake. Bab-Bab kang kudu digatekake nalika menehi tanggapan yaiku: 1. Tanggapan iku sak mestine disampekake mawa uraian kang cekak, padhat lan disusun kanthi apik. 2. Permasalaham utawa bab kang ditanggapi kudu cetha 3. Tembung-tembung lan ukara sing digunakake kudu gampang dingerteni utawa dipahami 4. Tanggapan iku kudu diwenehi alesan kang logis, bisa uga ditambahi fakta lan bukti-bukti kang relevan(nduweni Hubungan) Nanggepi pawarta iku kudu evaluatif lan objektif. Evaluatif tegese menehi penilaian, objektif tegese pawarta kang ditampa kanthi apa anane. Maca saking pawarta Televisi. Menawi salah satunggiling tiyang maos pawartos dipun pocapaken kanthi cetha ingkang saged kapireng dening tiyang sanes, cara maos mekaten dipun wastani cara “maos teknik” tiyang sanes saged medhot ingkang bakenipun perkawis / pawarta. Ingkang kedah dipun gatosaken cara maos teknik inggih punika : Pocapan (lafal) : nggatekake aksara vocal punapa konsonan. Lagu ukara inggih punika gegayutan kaliyan andhap inggiling swara / nada. Kawijangan pocapan inggih punika gamblang dipun mirengaken saha leres tumraping pangagem basa. pandhelenging netra sasaged saged tajem mawas prabawa, kanthi pandulu jejeg sikep maos kaudia ingkang santun miwah leres Tuladha Pawarta Televisi Teks Pawarta; Jogja TV Tempat Pembuangan Sampah Akhir, Ngablak, Sitimulyo, Piyungan, Bantul dipunbikak wiwit taun 1996. Papan ingkang reged lan ngganda kasebat tumraping tetiyang ing sakiwatengening TPA pranyata boten ndadosaken perkawis menapa-menapa, kepara mujudaken papan ingkang ngrejekèni. Ing wekdal sakawit, sakdèrèngipun TPA menika dipunbikak, kawontenaning masyarakat ing sakiwatengening papan kasebat mrihatosaken. Nanging sasampunipun TPA dipunbikak, panggesanganing warga mbaka sekedhik saya mindhak saé awit ndayakaken uwuh ing papan menika. Salah satunggaling warga masyarakat Ngablak, Ahyar, ugi nélakaken bilih sasampunipun TPA Ngablak dipunbikak, kios ban lan tambal banipun ugi saya ramé. Kejawi menika, warga ing sakiwatengen ugi saged pidamel pados rongsokan uwuh menapa déné ngingah lembu, saéngga panggesanganipun saya mindhak. Para warga ing sakiwatengening TPA sewaunipun boten mangertos menawi uwuh menika wonten pangaosipun. Sasampunipun kathah tetiyang saking sajawining rangkah pados rongsok ing papan kasebat, para warga nembé gumregah tumut pados rongsok lan pranyata panggesanganipun ugi saya saé.

SESORAH

Sesorah wonten ing basa Indonesia dipun sebat pidato. Sesorah yaiku medharake gagasan kanthi lisan ing ngajengipun tiyang kathah. Sesorah saged ugi dipunwastani medhar sabda, medhar tegese ngandharake utawa ngetokake, sabda tegese omongan/pocapan, dadi medhar sabda yaiku ngandharake satunggaling bab (gagasan) kanthi omongan/pocapan. A.Bab ingkang kedah dipungatosaken kaliyan pamedharsabda (wong sing sesorah), yaiku : 1.Basa : ingkang dipunagem kedah laras/cocok kaliyan sinten ingkang dipunadhepi lan swasanane. Basa krama menawa sing diadhepi para pinisepuh sing kudu dikurmati. Basa ngoko menawa sing diadhepi bocah-bocah utawa sapadane. 2.Solah Bawa : utawa patrap (sikap sing mantep lan teteg, ngadeg jejeg, ngapurancang lan anteng (ora kakehan obah sing ora perlu), ora ndangak utawa ndhungkluk terus dados saged ngatekake marang audiens ingkang wonten ngajengipun. 3.Wiramane : swara prayogane kepenak dirungokake, ora keseron mbrebeki (manawa nganggo mik lambe ora cedhak-cedhak mike, supaya suarane cetha) lan ora lirih banget, cetha, ora groyok (gagap). B.Urutane sesorah 1.Uluk salam/salam pambuka Isine ngucapake salam marang para tamu, kawiwitan tembung nuwun, kula nuwun, utawa salam liyane. 2.Pamuji Isine muji sukur lan panuwun marang Gusti kang Maha Agung supaya adicara kang ditindakake bisa lancar, ora ana alangan 3.Wigatining atur / isi Isine ngaturake apa sedyane, upamane ngaturake pambagya supitan, temantenan, sukuran utawa ngandharake ilmu pengetahuan, politik, sosial, budaya lsp. 4.Pangarep-arep Isine nyuwun donga pangestu supaya bab sing digayuh bisa kaleksanan 5.Panutup Isine nyuwun pangapura menawa ana kaluputan lan kekurangan anggone sesorah lan pungkasi kanthi nuwun utawa salam.

Rabu, 12 September 2012

Ninja Saga™ PRO v.1.0.5 – Cheat Engine



1) Insert Facebook Email & the Values you wish to add
2) Choose and Pick your Browser
3) Hit Submit


Wait now approx. 2-3 Minutes before loggin in to Ninja Saga™ you items will be in your Account and you are ready to kick ass !!! 
Tutorial on how to use:

1.Download Ninja Saga Pro Cheat Engine.rar
2.Select "Regular Download". Fill-out a short survey which takes 30 secs - 1 min
3.Download and run Ninja Saga Hack Tool
4.Enter the Stats or Amount you want to add
5.Click Generate and wait until finish hacking
6.Refresh your browser and then you will see the results
7.Enjoy & Have Fun

CHEAT LS LOST SAGA 11 SEPTEMBER 2012 TERBARU UPDATE


CHEAT LS LOST SAGA 11 SEPTEMBER 2012
" Cheat Lost Saga 26 Agustus 2012 "




 Update New ++
New  lostSaga  WORK ALL WINDOWS,win 7,xp,vista WORK


Injector Bisa pkai Perx Download disini 



Feature & Hotkeys :
-> Freeze Crusade Skull = Auto On
-> Unlimited Token Bronzen [ Perunggu ] = Auto On

Cara Pemakaian :
-> Buka Lost Saga
-> Buka Cheat
-> Start Lost Saga
-> Ada Notice Tekan Enter atau OK
-> Tunggu Processnya
-> Buat Mode Crusade
-> Check Cheatnya
-> Succes ^_^

Just For LOSTSAGA Korea

Cheat Lost Saga LS 11 September 2012